MAKALAH FILSAFAT ILMU
OBYEK MANUSIA DALAM BERFILSAFAT
Tugas Individu
MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU
DOSEN PEMBINA: Prof. Dr. Singgih Iswara M.M.
OLEH
SEBINUS JELAHU
NPM; 100401060197
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KANJURUAN MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Obyek Manusia Dalam Berfilsafat”,tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai wacana untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Singgih Iswara M.M. selaku
Dosen Pembina mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan perhatian
dan waktunya dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga Penulis mengucapkan terima kasih kepada Teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis
sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun.
Akhirnya
penulis mengucapkan selamat membaca semoga penulisan makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Malang, 21 juni 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar …………….…………...……………………………………………………... ii
Dartar Isi ………………………………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………... 2
1.3 Tujuan Penulisan ….……………………………………………………………… 2
1.4 Pembatasan Masalah ……………………………………………………………... 2
BAB II KAJIAN YEORI
2.1 Teori Tentang Obyek Filsafat ……………………………………………………. 3
2.2 Teori Tentang Filsafat Ilmu ………………………………………………………. 3
2.3 Teori Tentang Filsafat Pendidikan ……………………………………………….. 4
2.4 Teori Tentang Peranan Filsafat …………………………………………………... 4
2.5 Teori Tentang Kegunaan Filsafat ………………………………………………… 4
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Manusia dan Ilmu Pengetahuan ………………………………………………….. 3
3.2 Oyek Material dan Obyek Formal Dalam Ilmu Pendidikan …………………….. 4
3.2.1 Obyek Material ………………………………………………………….. 5
3.2.2 Obyek Formal …………………………………………………………… 6
3.3 Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal…………………………………… 8
3.4 Metode Filsafat……………………………………………………………….….. 9
3.5 Pembagian (cabang-cabang) Filsafat…………………………………………….. 10
BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………. 15
3.2 Saran …………………………………………………………………………….. 15
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia
dikenal sebagai makhluq berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan
manusia istimewa dibandingkan makhluq lainnya. Kemampuan berpikir atau
daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan
pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus
menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini
manusia berpegang pada pengetahuan.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama, yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, kemampuan
berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu. Kedua faktor diatas
sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk
mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin
dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak
terstrukturnya kerangka fikir. Kerangka fikir akan terstruktur ketika
obyek dari apa yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
1. Adanya aktifitas berfikir, meneliti dan menganalisa.
2. Adanya metode tertentu dan sistematika tertentu.
3. Adanya obyek tertentu.
Berpikir,
meneliti dan menganalisa adalah proses awal dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. Dengan berpikir, seseorang sebenarnya tengah menempuh satu
langkah untuk medapatkan pengetahuan yang baru. Aktivitas berpikir akan
membuahkan pengetahuan jika disertai dengan meneliti dan menganalisa
secara kritis terhadap suatu obyek.
Obyek
tertentu merupakan syarat mutlak dari suatu ilmu. Karena obyek inilah
yang menentukan langkah-langkah lebih lanjut dalam pengupasan lapangan
ilmu pengetahuan itu. Tanpa adanya obyek tertentu maka dapat dipastikan
tidak akan adanya pembahasan yang mapan.
Metode
merupakan hal yang sama pentingnya dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Tanpa adanya metode yang teratur dan tertentu, penyelidikan atau
pembahasan kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan. Dari
segi metode inilah akan terlihat ilmiah tidaknya suatu penyelidikan atau
pembahasan itu.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan mengenai ilmu pengetahuan sangatlah luas. Seperti:
· Aktivitas berpikir seperti apakah yang dapat menimbulkan ilmu pengetahuan?
· Apakah yang menjadi obyek dalam ilmu pengetahuan?
· Metode dan analisis yang bagaimana yang memenuhi standar dapat diterimanya conclusi seseorang sebagai ilmu pengetahuan?
· Apakah syarat dapat diterimanya seseorang sebagai ilmuwan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kita bisa mengerti megenai apa itu obyek material dan apa itu obyek formal.
1.4 pembatasan masalah
Dalam
makalah ini, akan dibahas mengenai apa yang menjadi obyek ilmu
pengetahuan. Penulis akan lebih memfokuskan pembahasan tentang apa yang
dimaksud dengan obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Teori Tentang Obyek Filafat
Untuk
membahas objek studi formal dan material dalam filsafat, perlu dikaji
terlebih dahulu makna filsafat itu. Secara etimologis, filsafat berasal
dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam
bahasa Inggris, yaitu philosopy, sedangkan dalam bahasa Yunani yaitu philein (cinta) atau philos (mencintai, menghormati, menikmati) dan sophia atau sofein
(kehikmatan, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan atau kejernihan).
Dengan demikian, secara etimologis, filsafat atau berfilsafat berarti
mencintai, menikmati kebijaksanaan atau kebenaran (Wiramihardja, 2007).
Menurut Keraf (2001) secara etimologis filsafat berarti cinta akan
kebenaran; suatu dorongan terus menerus, suatu dambaan untuk mencari dan
mengejar kebenaran.
Filsafat
adalah sebuah sistem pemikiran, atau cara berpikir yang terbuka untuk
dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda
tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan
pernyataan (Keraf, 2001). Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah
alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat adalah berpikir
(Wiramihardja, 2007). Menurut Langeveld (dalam Wiramihardja, 2007),
filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian
alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Jika dirumuskan kembali,
filsafat adalah suatu wacana atau perbincangan mengenai segala hal
secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan
hakikatnya. Hakikat adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar.
2.2 Teori Tentang Filsafat Ilmu
Sebenarnya
jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para
ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan
untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.
2.3 Teori Tentang Filsafat Pendidikan
Menurut
Drs. Suyadi MP dan Drs. Sri suprapto widodonongrat ciri filsafat adalah
menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Sedangkan Sunoto menyebutkan
ciri-cirinya adalah deskriptip, kritik atau analitik, evaluatif atau
normativ, spekulatif dan sistematik.
2.4 Teori Tentang Peranan filsafat
Berabad-abad
lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan
kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia terlena dalam alam mistik yang
penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai
mitos dan mite. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama dan kehadiran
filsafat telah mendobrak pintu dan tembok tradisi yang begitu sakral
yang selama itu tidak boleh digugat. Kendati pendobrakan itu membutuhkan
waktu yang cukup panjang, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa
filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.
Filsafat
bukan hanya sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang
penuh dengan berbagai mitos dan mite itu melainkan juga merenggut
manusia keluar dari penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari
ketidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula filsafat membebaskan
manusia dari belenggu cara berpikiryang mistis dan mitis.
Filsafat
membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistik mitis
denganmembimbing manusiauntuk berpikir secara rasional. Membebaskan
manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan membbimbing
untuk berpikir lebih luas dan mendalam.
2.5 Teori Tentang Kegunaan filsafat
Pada
umumnya dapat dikatakan bahawa dengan belajar filsafat semakin
menjadikan orang mampu untuk menangani berbagai pertanyaan mendasar
manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus.
Jadi filsafat membantu untuk mendalami berbagai
pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung
jawabnya. Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur yakni secara
sistematis dan historis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Manusia dan Ilmu Pengetahuan
Benarkah
bahwa semakin kita bertambah cerdas maka semakin pandai kita menemukan
kebenaran? Apakah manusia yang memiliki penalaran tinggi, lalu makin
berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah
sebaliknya, makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?.
Demikianlah beberapa pertanyaan yang diajukan Jujun S Suriasumantri dalam bukunya: Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pertanyaan ini beliau ajukan dalam mukadimahnya mengenai ilmu dan moral.
Tidak
bisa dipungkiri, memang, bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih
mudah.
Pengetahuan
merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar dibayangkan bagaimana
kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab,
pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang
muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab
jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu, agar kita dapat
memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal, maka harus kita
ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu
pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada
pengetahuan yang mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan. Untuk
itulah kita perlu mengetahui apa yang menjadi obyek material dan obyek
formal suatu ilmu pengetahuan.
3.2 Obyek Material dan Obyek Formal Ilmu Pengetahuan
Pada
dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan
terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila
selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran.
Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main
luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu
yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat
itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal
dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa
tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang
tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang
begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama
persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) apa dan siapakah manusia ?, dan 2)
Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah
intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions
of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok
filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : kebenaran,
materi, pikiran, hubungan antara materi dan pikiran, ruang dan waktu,
sebab-sebab, kebebasan, serba tunggal lawan serba jamak, Tuhan.
Pendapat-pendapat
tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek
filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandang nya
terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah
segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam
(radikal).
No
problem, no science. Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana namun
padat akan makna. Dari ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwa ilmu
pengetahuan muncul dari adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan,
menurut Bahm, diperoleh dari pemecahan suatu masalah keilmuan. Tidak ada
masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak
memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode
berarti ada sistematika ilmiah.
Permasalahan
merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Permasalahan apa yang coba
dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah yang disebut obyek.
Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai sesuatu yang merupakan bahan
dari penelitian atau pembentukan pengetahuan.
Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: Obyek material dan obyek formal.
Menurut
Drs. H.A.Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada,
baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam
kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
· Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
· Ada
yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak
(theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi
metafisik) dan alam (kosmologi).
3.2.1 Obyek Material
Yang disebut obyek material
adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian
ilmu. Sedangkan menurut Surajiyo dkk. obyek material dimaknai dengan
suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang diselidiki, dipandang
atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material mencakup apa saja,
baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-materil.
Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan
sebagainya. Misal: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh
lainnya, lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir merupakan obyek material logika.
Menurut
Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa
yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat
dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu, Hakekat Tuhan, akekat Alam dan
Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan
demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan
mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal
filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek
material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada
sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material
filsafat.Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini dibedakan atas dua arti, yaitu:
Pokok
persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan
faktual. Misalnya: penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika;
penyelidikan tentang chlorophyl termasuk penelitian bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.
Dimaksudkan
sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan.
Misalnya: anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur
tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari
fungsinya. Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki pokok persoalan
yang sama, namun juga dikatakan berbeda. Perbedaaan ini dapat diketahui
apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan
aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari
tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya
yang dinamis.
2.2.2 Obyek Formal
Obyek formal
adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut
segi-segi yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang.
Obyek formal diartikan juga sebagai sudut pandang yang ditujukan pada
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut
pandang darimana obyek material itu disorot. Obyek formal suatu ilmu
tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, akan tergambar lingkup suatu pengetahuan
mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, tujuan
pengetahuan sudah ditentukan.
Misalnya,
obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari
sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang
mempelajari manusia, diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan
sebagainya.
Objek formal
adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan,
artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar
ilmu pengetahuan, misalnya apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara
memperoleh kebenaran ilmiah, dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu
pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Aristoteles
(dalam Sudrajat, 2008) memberikan suatu klasifikasi berdasarkan objek
formal. Ia membedakan antara ilmu teoritis (spekulatif), praktis, dan poietis
(produktif). Perbedaanya terletak pada tujuannya masing-masing. Ilmu
teoritis bertujuan bagi pengetahuan itu sendiri, ialah untuk keperluan
perkembangan ilmu, misalnya dalam hal preposisi atau asumsi-asumsinya.
Ilmu teoritis mencakup fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu praktis,
ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran bagi
perbuatan kita, termasuk di dalamnya adalah etika, ekonomia, dan
politika. Poietis, ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menghasilkan suatu hasil karya, alat dan teknologi. Ada perbedaan
esensial di antaranya, yaitu ilmu praktis bersangkutan dengan penggunaan
dan pemanfaatannya, sedangkan poietis bersangkutan dengan menghasilkan
sesuatu, termasuk alat yang akan digunakan untuk penerapan.
Berdasarkan
taraf abstraksinya ilmu teoritis dibagi menjadi tiga jenis. Taraf
pertama, abstraksi dilakukan terhadap individualitas gejala atau
kenyataan sehingga ketika berbicara tentang rumah dan manusia, yang
tinggal hanya rumah atau manusia pada umumnya. Abstraksi pada taraf
kedua meninggalkan kuantitas serta menimbulkan matematika yang mencakup
geometri (ilmu ukur), serta aritmatika (ilmu hitung). Abstraksi pada
taraf ketiga menghasilkan sesuatu yang tidak bermateri (immaterialitas)
yang dipelajari dalam metafisika. Kenyataan itu ditinjau dari sudut
universalitas, kuantitas, dan immaterialitas yang berarti berdasarkan
objek formal.
Contoh objek
material dalam ilmu matematika yaitu tentang bilangan, sedangkan objek
formal yaitu penggunaan dari lambang bilangan untuk penghitungan dan
pengukuran. Filsafat membahas bilangan sebagai objek studi material
artinya filsafat menjadikan bilangan sebagai objek sasaran untuk
menyelidiki ilmu tentang bilangan itu sendiri. Objek material filsafat
ilmu bilangan adalah bilangan itu sendiri. Bilangan itu sendiri dimulai
dari yang paling sederhana, yakni bilangan asli, bilangan cacah,
kemudian bilangan bulat, dan seterusnya hingga bilangan kompleks.
Sebagai
objek formal filsafat, bilangan dikaji hakikat atau esensinya.
Pengkajian filsafat tentang bilangan misalnya mengenai apa hakikat dari
bilangan itu, bagaimana merealisasikan konsep bilangan yang abstrak
menjadi riil atau nyata, bagaimana penggunaan bilangan untuk
penghitungan dan atau pengukuran.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia
tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan
sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus
"kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas"
(versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal
pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala
ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.
Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan
dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
3.3 Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal
Persoalan-persoalan
umum (implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan
dalam bidang ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:
Sejauh
mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing
ilmu khusus itu, dari mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana
harus berhenti.
Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya.
Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.
Apakah
persoalan kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu
ke-alam-an juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
3.4 Metode Filsafat
Sebenarnya
jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para
ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan
untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.
Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adlah
sebagai berikut:
a. Metode Kritis : Socrates dan plato
Metode
ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang di
kemukakan orang. Merupakan hermeneutika, yangmenjelaskan keyakinan dan
memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog),
membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya di
temukan hakikat.
b. Metode Intuitif : Plotinus dan bergson
Dengan
jalan metode intropeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol di
usahakan membersihkan intelektual (bersama dengan pencucian moral),
sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan bergson dengan
jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai
pemahaman langsung mengenai kenyataan.
c. Metode Skolastik : aristoteles, thomas aquinas, filsafat abad pertengahan.
Metode
ini bersifat sintetis-deduktif dengan bertitik tolak dari
defenisi-defenisi atau prindip-prinsip yang jelas dengan sendirinya di
tarik kesimpulan-kesimpulan.
d. Metode Geometris : rene descartes dan pengikutnya
Melalui
analisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan
hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari
hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian
lainnya.
e. Metode fenomenologis : Husserl, Eksistensialisme
Yakni
dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau
fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni.
Fenomelogi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau yang membicarakan gejala. Hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan dan menurut Husserl ada tiga macam reduksi yaitu:
· reduksi fenomologis,
· Reduksi eidetis.
· Reduksi transendental
f. Metode analitika bahasa : Wittgenstein
Dengan
jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya
ucapan-ucapan filosofis. Metode ini di nilai cukup netral sebab tidak
sama sekali mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya adalah
semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa di dasarkan kepada penelitian
bahasa yang logis.
3.5 Pembagian ( cabang-cabang) filsafat
Pembagian
secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kelompok, yakni filsafat
sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat sistematis bertujuan dalam
pembentukan dan pemberian landasan pemikiran. Didalamnya meliputi
logika, metodelogi, epistimologi, filsafat ilmu, etika, estetika
metafisika, teologi (filsafat ketuhanan), filsafat manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat sejarah, hukum, komunikasi dan lain-lain.
Adapun
sejarah filsafat adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran
filsafat sepanjang masa. Sejak zaman kuno hingga zaman modern, bagian
ini meliputi sejarah filsafat yunani (barat), india, cina dan sejarah
filsafat islam.
Berikut ini pengertian ari cabang-cabang filsafat yang utama:
· Logika
Logika,
adalah cabang filsafat yang menyelildiki lurus tidaknya pemikran kita.
Lapamngan dalam logika adlah asa-asas yang menentukan pemikiran yang
lurus, tepat dan sehat. Dengan mempelajari logika diharapkan dapat
menerapkan asas bernalar sehingga dapat menaarik kesimpulan dengan
tepat.
· Metafisika
Metafisika,
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada atau
membicarakan sesuatu di sebalik yang tampak. Persoalan metafisis di
bedakan menjadi tiga yaitu ontologi, kosmologi dan antropologi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dewasa
ini, corak dan ragam ilmu pengetahuan sangatlah banyak. Corak dan ragam
yang berbeda-beda ini timbul karena adanya perbedaan cara pandang dalam
memahami obyek ilmu pengetahuan.
Obyek
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian
atau pembentukan pengetahuan. Inti pembahasan atau pokok persoalan dan
sasaran material dalam ilmu pengetahuan sering disebut sebagai obyek
material ilmu pengetahuan. Sedangkan cara pandang atau
pendekatan-pendekatan terhadap obyek material ilmu pengetahuan biasa
disebut sebagai obyek formal.
Dari
berbeda-bedanya obyek ilmu pengetahuan ini, timbullah ragam dan corak
ilmu pengetahuan. Dengan mengetahui obyek material dan obyek formal ilmu
pengetahuan kita dapat mengetahui bidang keilmuan apakah yang
dimungkinkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan
permasalahan yang kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Ahmad. 1999. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Bahm, Archi J. 1980. What is Science?. New Mexico: Al-buquerque.
Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Suriasomantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mustansyir, R dan Munir M. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Dosen Filsafat UGM. 2003. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Li
Tidak ada komentar:
Posting Komentar